Minggu, 16 Agustus 2015

Hanyut Memperhatikan

"Kursi 15 ABC. Oh kiye-kiye" (Kursi 15 ABC. Oh ini ini)
"Disogna ngene bae, ibune lunggah dishit" (Letakkan di sini saja, ibu duduk dulu)
"Maturnuwun Pak" (Terimakasih Pak)

Tanpa melihat ke arah mereka, diam-diam aku memperhatikan keluarga kecil itu dari pantulan kaca jendela di sebelah dekat bahu kiriku. Sang Ibu segera duduk sambil melepas jarit gendongan yang melilit tubuh putra kecilnya. Mereka berjumlah empat orang. Putra tertua berusia sekitar enam tahun, sedang si bungsu terlihat baru di tahun kedua. Beberapa menit setelah kereta selesai singgah di Bumiayu, mereka duduk di kursi sesuai tiket yang dibeli. Ayah menghadap istrinya yang terus membelai bungsu mereka sambil berbicara dengan bahasa jawa berlogat kental banyumasan. Sesekali Si Ayah menggoda si bungsu tanpa melihat ke arah sulung yang terus diam menatap kaca jendela kereta. Berhasil benar laki-laki kecil ini merebut perhatian kedua orang tua mereka.

Sihir apa yang dititipkan Tuhan kepada anak kecil ini, membuat suami istri begitu kompak. Satu mau repot menyiapkan susu hangat di dalam kereta yang berjalan, satu lagi berceloteh seperti orang gila pada anak yang belum belajar banyak bahasa. Saat yang lain asik bersandar pada kerasnya kursi kelas ekonomi, ayah si bungsu mengikuti kemanapun jalannya putra mereka di gerbong kereta sambil tertawa. Ibunya diam memperhatikan sambil berusaha memanjakan anak pertama. 

Belum lagi melihat barang yang di bawa. Keluarga kecil ini tampil sederhana dan tidak menutupi keperluan mereka pergi ke kota tujuan akhir dari perjalanan kereta, mudik. Dua tas besar dibawa masuk oleh ayah sambil menggendong satu ransel yang serat kainnya terlihat merenggang menahan beban agar isinya tidak keluar. Ibu menuntun anak pertama dengan tangan kanan sambil memegang erat si bungsu yang berada di gendongan dengan tangan kiri. Si sulung pun tidak lepas dari tugas, tas plastik warna hitam berisi penuh bekal makanan dia bawa dengan satu tangan. Dan ketika mereka telah duduk di bangku 15 ABC, senyum Ibu melepaskan lelah Ayah yang duduk bersandar lega.

Kaca jendela di sampingku mulai kehilangan bayangan mereka, diam-diam kucuri pandang langsung ke arah keluarga itu. Dan....tertangkap basah oleh si bungsu. Lemparan senyum kecilnya kubalas dengan juluran lidah sambil berkata dalam hati, "Hey, aku iri pada ayah dan ibumu".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar