
26 Mei 1949. Sugeng Sudiro dilahirkan dari rahim seorang ibu yang sudah mengandungnya selama 8 bulan, ia lahir prematur dengan berat dua kilogram. saat itu masih kental suasana pasca proklamasi, masih ada rasa-rasa ketakutan dan penyesalan serta kepuasan membebaskan diri dari penjajah. Dunia telah mengalami kemajuan bahkan sebelum Indonesia diakui sebagai negara merdeka, namun teknologi kedokteran di Indonesia belum mampu menghasilkan inkubator untuk anak yang lahir prematur, sehingga Sudiro yang lahir prematur terpaksa dirawat dengan dua botol berisi air hangat di kanan dan kirinya. Ibunya tidak berani menyentuh anaknya sendiri sebab ukurannya yang kecil dan rentan. Beberapa tahun kemudian Sudiro pun tumbuh menjadi anak laki-laki yang normal. Ia berdiri, berjalan, makan, minum dan sekolah sama seperti anak lainnya. Setelah lulus dari masa wajib belajarnya selama 9 tahun, ia meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Sudiro merantau ke Jakarta, meninggalkan ayah, ibu, dan ketujuh adiknya di Purwokerto. Di sana ia dididik dan dirawat oleh bude dan padenya, dengan penuh kedisiplinan, sangat disiplin.
1979. Adalah awal kehidupannya sebagai pemimpin rumah tangga pengganti ayahnya. Ayah yang dicintai oleh 9 anggota keluarga itu pergi ke sisi Tuhan setelah selesai dengan tugasnya. Pesan terakhir kakek saya adalah "Aku titip adi-adimu ya Dir...". Wasiat ayahnya benar benar dijalani Sudiro dengan sungguh-sungguh. Ia masih melanjutkan sekolahnya di Jakarta, dan terpaksa mencari penghasilan untuk membantu ibu menambahi biaya pensiunan ayahnya guna menyekolahkan 7 orang adik dan seorang ibu yang ditinggalkannya di Purwokerto. Tujuh ribu rupiah tentu dirasa kurang untuk menghidupi 8 orang dengan 7 anak yang masih sekolah. Berbekal sedikit ilmu pengetahuannya belajar di jurusan Hubungan Internasional, Sudiro menulis beberapa artikel mengenai politik. Kebaikan berpihak padanya, artikelnya dimuat media cetak surat kabar, beberapa kali, dan jerih payahnya itu menghasilkan uang yang ia kirimkan untuk keluarga yang ditinggalkannya. Sudiro membiayai sekolah ketujuh adiknya.
Universitas Nasional, Jakarta. Menjadi tempat Sudiro menimba ilmu. Hidup bersama saudara tidak seenak yang dibayangkan. Meski laki-laki, kata 'malas' tentu sangat dilarang jika sudah tinggal menumpang di rumah saudara. Sudiro terkadang masih harus menanak nasi sendiri. Didikan padenya memang keras dan disiplin. Jika ibu dan adiknya berkunjung ke Jakarta, dan jika tiba saatnya makan, Sudiro akan menanak nasi lalu menyerahkan nasinya kepada ibu dan adiknya. Sedangkan ia merasa sudah cukup mengisi perutnya dengan kerak nasi. Sudiro mengalah untuk ibu dan adiknya.
Kerja kerasnya terbayar. Lunas dan dengan sangat indah caranya, Lulus sebagai mahasiswa, Sudiro bekerja di Departemen Luar Negeri. Hari pertama ia berangkat mengendarai vespa milik padenya, lalu esok tidak lagi, lusa pun tidak, dan itu adalah hari pertama dan terakhirnya mengendarai vespa. Pemimpinnya pernah bertanya, "Diro, kamu ke sini naik apa?" "Naik vespa, Pak" "Vespa siapa?" "Punya om, saya dipinjami" "Kembalikan vespa itu ke om mu, besok dan seterusnya kamu harus berangkat kerja naik kendaraan umum atau jalan kaki saja". Dari situlah ia belajar untuk lebih berusaha. Untuk tidak bergantung pada kemudahan yang bukan miliknya.
Berasal dari keluarga yang sederhana, tidak menghalangi Sudiro untuk memiliki cita-cita yang tinggi. Pedoman "gantungkan cita-citamu setinggi langit" memang sudah ada sejak bangsa kulit putih tiba di Tanah Air, atau sebelum Perang Dunia 1 ada. Keinginan yang sangat ia dambakan sejak kecil adalah keliling dunia. Semua orang pasti menginginkannya. Semua orang juga mudah saja mengatakannya. Tapi hanya beberapa orang saja yang bisa menggapainya. Sudiro sadar betul pada keadaaan keluarganya. Tidak mungkin dia bisa meninggalkan Tanah Air dengan ibu dan 7 orang adik yang masih harus terus bersekolah, sedangkan bergantung kepada saudara merupakan hal yang sengaja ia hindari. Namun pada akhirnya ia berhasil. Sudiro berhasil menggapai cita-citanya. Setelah usaha dan kerja kerasnya bertahun-tahun disertai kesabarannya, kini ia sudah dapat menikmati rasanya berdomisili di Jepang, Fiji, Korea, Filipina dan Australia (aku lupa di mana lagi,hehe).
Sekarang Sudiro selalu dan selalu mengajarkan kedisiplinan kepada siapa saja, termasuk keponakannya. Saya. hahaha.
1979. Adalah awal kehidupannya sebagai pemimpin rumah tangga pengganti ayahnya. Ayah yang dicintai oleh 9 anggota keluarga itu pergi ke sisi Tuhan setelah selesai dengan tugasnya. Pesan terakhir kakek saya adalah "Aku titip adi-adimu ya Dir...". Wasiat ayahnya benar benar dijalani Sudiro dengan sungguh-sungguh. Ia masih melanjutkan sekolahnya di Jakarta, dan terpaksa mencari penghasilan untuk membantu ibu menambahi biaya pensiunan ayahnya guna menyekolahkan 7 orang adik dan seorang ibu yang ditinggalkannya di Purwokerto. Tujuh ribu rupiah tentu dirasa kurang untuk menghidupi 8 orang dengan 7 anak yang masih sekolah. Berbekal sedikit ilmu pengetahuannya belajar di jurusan Hubungan Internasional, Sudiro menulis beberapa artikel mengenai politik. Kebaikan berpihak padanya, artikelnya dimuat media cetak surat kabar, beberapa kali, dan jerih payahnya itu menghasilkan uang yang ia kirimkan untuk keluarga yang ditinggalkannya. Sudiro membiayai sekolah ketujuh adiknya.
Universitas Nasional, Jakarta. Menjadi tempat Sudiro menimba ilmu. Hidup bersama saudara tidak seenak yang dibayangkan. Meski laki-laki, kata 'malas' tentu sangat dilarang jika sudah tinggal menumpang di rumah saudara. Sudiro terkadang masih harus menanak nasi sendiri. Didikan padenya memang keras dan disiplin. Jika ibu dan adiknya berkunjung ke Jakarta, dan jika tiba saatnya makan, Sudiro akan menanak nasi lalu menyerahkan nasinya kepada ibu dan adiknya. Sedangkan ia merasa sudah cukup mengisi perutnya dengan kerak nasi. Sudiro mengalah untuk ibu dan adiknya.
Kerja kerasnya terbayar. Lunas dan dengan sangat indah caranya, Lulus sebagai mahasiswa, Sudiro bekerja di Departemen Luar Negeri. Hari pertama ia berangkat mengendarai vespa milik padenya, lalu esok tidak lagi, lusa pun tidak, dan itu adalah hari pertama dan terakhirnya mengendarai vespa. Pemimpinnya pernah bertanya, "Diro, kamu ke sini naik apa?" "Naik vespa, Pak" "Vespa siapa?" "Punya om, saya dipinjami" "Kembalikan vespa itu ke om mu, besok dan seterusnya kamu harus berangkat kerja naik kendaraan umum atau jalan kaki saja". Dari situlah ia belajar untuk lebih berusaha. Untuk tidak bergantung pada kemudahan yang bukan miliknya.
Berasal dari keluarga yang sederhana, tidak menghalangi Sudiro untuk memiliki cita-cita yang tinggi. Pedoman "gantungkan cita-citamu setinggi langit" memang sudah ada sejak bangsa kulit putih tiba di Tanah Air, atau sebelum Perang Dunia 1 ada. Keinginan yang sangat ia dambakan sejak kecil adalah keliling dunia. Semua orang pasti menginginkannya. Semua orang juga mudah saja mengatakannya. Tapi hanya beberapa orang saja yang bisa menggapainya. Sudiro sadar betul pada keadaaan keluarganya. Tidak mungkin dia bisa meninggalkan Tanah Air dengan ibu dan 7 orang adik yang masih harus terus bersekolah, sedangkan bergantung kepada saudara merupakan hal yang sengaja ia hindari. Namun pada akhirnya ia berhasil. Sudiro berhasil menggapai cita-citanya. Setelah usaha dan kerja kerasnya bertahun-tahun disertai kesabarannya, kini ia sudah dapat menikmati rasanya berdomisili di Jepang, Fiji, Korea, Filipina dan Australia (aku lupa di mana lagi,hehe).
Sekarang Sudiro selalu dan selalu mengajarkan kedisiplinan kepada siapa saja, termasuk keponakannya. Saya. hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar