“bagaimana kau yakin akan semua itu?”
“sedari kecil sudah kudidik dia melakukan kebaikan,
kukasihi dia dengan tulus, kuajarkan do’a-do’a untuk keshalehannya, kuisi
perutnya dengan makanan yang halal, kucukupi gizinya dengan buah buah dan
sayuran terbaik”
“apakah kau ajarkan dia budi pekerti?”
“tentu saja. kalimat kalimat yang baik aku berikan, aku
jauhkan dia dari kalimat buruk, kuajarkan kata maaf dan terimakasih sesering
mungkin, kuberi contoh dia untuk menghormati yang tua, dan menyayangi yang muda”
“bagimana dengan ilmu pengetahuannya?”
“aku tidak ragu lagi. kusekolahkan dia ke sekolah terbaik,
aku temani saat dia belajar, kubantu mengerjakan PR nya sebisaku, kubelikan mainan kesukannya agar dia pun mau
belajar, kutempel tabel huruf dan angka di kamarnya agar dia mau berlatih”
“apa kau yakin agamanya cukup baik?”
“bagaimana mungkin aku salah? sudah kukatakan, kuajari dia
do’a-do’a, aku pun memberi contoh padanya bagaimana beribadah, kuceritakan nabi-nabi, ajaran tentang Tuhan-nya, tentang kemuliaan agamanya”
“jika dia dewasa, kelak apa kau rela melepasnya?”
“......”
“apa kau rela sebagai orang tua yang telah mendidik,
mengasuh, mendoakan, melindungi dengan sungguh sungguh, kemudian melepasnya
pergi saat dia dewasa dan berani hidup sendiri?”
“sebagai orang tua, aku akan memberikan
semua yang terbaik untuknya.”
“jadi, apa kau ikhlas?”
“walaupun aku berkata ‘ikhlas’, tentu ada bagian dalam
diriku yang tidak ikhlas”
“apa harapanmu setelah anakmu pergi memulai hidupnya
sendiri?”
“aku berharap dia tidak melupakan ajaran-ajaran kebaikan semasa
kecilnya, aku harap dia tidak melupakan budi pekerti, agama, do'a-do'a, dan pesan
baik yang telah kuajarkan. Aku pun berharap, dia tidak merasa kekurangan akan
didikan dari orang tuanya, aku harap kelak dia bisa memaafkanku jika ia sadar
bahwa yang kuberikan belum sepenuhnya maksimal yang terbaik. Dan aku akan
sangat senang jika dia bisa sesering mungkin menghubungiku”
“menurutmu apa dia akan berhasil?”
“jika ia tetap berpegang teguh pada kebaikan agama nya. Dia anak
yang pintar, aku percaya dia mampu bersaing, aku percaya dia pantang menyerah. Sedari
kecil aku ajarkan dia untuk menjadi kuat”
“apa kau cukup yakin dia mampu hidup mandiri?”
“ya, dia tidak akan menyulitkan orang lain, apalagi temannya
sendiri. sudah kubilang sejak awal, kelak dia kan menjadi orang yang bermanfaat
untuk sesama. Do’aku pada Tuhan selalu seperti itu.”
“apa kau yakin dia akan memiliki banyak teman dan rekan
kerja?”
“tentu saja. Dia anak yang baik, kau sudah tahu itu bukan? Dia
akan mengerjakan kewajibannya dengan baik, hasil kerjanya memuaskan
rekan-rekannya, kelak ia dipercaya orang banyak, dan banyak orang akan merasa
senang bekerja sama dengannya! dia akan bermanfaat untuk sesamanya”
“bagaimana jika dia berubah menjadi pemalas? tidak peduli
lingkungan sekitar? melupakan ajaran agama yang telah kau ajarkan, menghubungimu
sejarang mugnkin, tidak dipercaya teman temannya?”
“maka Tuhan yang akan menghukumku di akhirat kelak”
“mengapa begitu?”
“atas semua tindakan buruknya, itu mencerminkan gagal nya
ajaran yang kuberikan padanya, Sang Pencipta tentu akan bertanya padaku, ‘bagaimana
bisa anakmu seperti itu? apa yang telah kau ajarkan?’. Jika anakku sayang dan
peduli padaku, tentu dia tidak akan berbuat seperti itu, jika memang dia peduli
padaku....”
“bagaimana jika dia berubah menjadi jelek karena
lingkungannya? karena terbawa pengaruh dari tempat ia hidup mandiri?”
“aku percaya dia tidak akan menjadi buruk, sebab benih kebaikan
melekat kuat padanya, dia bukan anak yang lemah pendirian”
“bagaimana kau bisa seyakin ini pada anakmu?”
“karena aku selalu berdoa pada Tuhan untuk menjaganya, aku
pun telah berusaha semampuku sejak dia dalam kandungan seorang ibu, karena aku selalu
berharap dia bisa menjadi jauh lebih baik dariku”
“jadi, kau percaya
pada anakmu?”
“ya, dia bagian dariku”
“sekali lagi aku bertanya, apa harapanmu untuk dia?”
“kelak dia kan menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama,
aku akan sangat bahagia jika dia turut menjagaku dari siksa Tuhan, jika dia
berpegang teguh pada agamanya”
“apa yang paling kau
takutkan dari anakmu?”
“kelak jika aku tiada, tidak akan ada lagi yang mendoakannya
setiap hari”
“apa yang paling kau takutkan dari anakmu selain itu?”
“jika dia hilang keprcayaan diri, jika dia mulai berputus
asa akan hidupnya sendiri, jika dia berpikir bahwa harapanku padanya terlalu
besar”
“bagaimana jika dia seperti itu?”
“dia tidak akan seperti itu, kuajarkan padanya untuk selalu
tenang, karena ada Tuhan yang mengawasinya, dan aku yang mendo’akannya. Kubekali
dia nasihat bahwa saat dia lelah, lihatlah ke atas, ada Tuhan yang tidak pernah
gagal menolongmu” *terinspirasi dari sebuah quote di google ehehe*
“apa yang paling membuatmu sedih dari anakmu?”
“dia tidak akan membuatku sedih, kecuali jika dia masuk
neraka atas dosanya sendiri, aku akan merasa sangat gagal menjadi orang tua
baginya. Untuk segala kesalahannya padaku, aku
memaafkannya dengan tulus”
“bagaimana caramu menyelamatkannya dari neraka?”
“aku jaga air mata kesedihanku tidak akan mengalir karena
dia, aku ajarkan ajaran agama padanya” *katanya air mata orang tua itu bisa jadi bensin buat api di neraka kita. naudzubilahhimindzalik*
“apa yang membuatmu paling bahagia dari anakmu?”
“jika aku wafat, dengan dia tetap menjadi anak yang shaleh,
dan bermanfaat bagi sesamanya”
* ditulis di senin pagi sambil nungguin rendeman cucian baju, semoga bermanfaat, semoga bahasanya tidak mengguri ya, renyah dibaca, sedap dipandang. dan.......semoga kita bisa jadi lebih baik. ehem. semoga yang masih suka seneng-seneng lupa kewajiban kita sebagai anak, pelajar, dan makhluk sosial, bisa tersadarkan lagi ya setelah baca ini. #piss ^^v *
grazie fi T.T
BalasHapushoho sama sama jee :D
Hapusfi... nice post.. tumbs up. ijin share
BalasHapusmakasih bella :) monggo monggo..
Hapusulfi emang bener bener daah :""
BalasHapus