Aku mengenalnya dengan nama Firza,
dan namaku sendiri Agha. Suatu hari kudapati gadis itu bermain sepatu roda
sambil berputar-putar tak tentu arah seorang diri di dekat air mancur kota. Kupikir
dia tidak memiliki teman selain dirinya sendiri. Dia bernyanyi sambil berputar
di satu tempat, seolah sangat menikmatinya. Hmmm jujur, aku termasuk orang yang
tidak terlalu serius. Terlalu sering bercanda, tapi hanya kepada kaum pria,
bagiku selera humor yang dimiliki wanita tak sebagus pria. Tapi dia terlihat
lucu saat itu, mana ada gadis mau bertingkah aneh, bermain sepatu roda
sendirian dan hanya berputar di satu tempat. Kupikir dia tidak ahli. Eh tapi
tunggu! Dia berputar secara mundur! Dia bermain sepatu roda dengan mundur! Dan
bernyanyi.
Aku heran. Alisku naik sebelah.
Wah ini gadis luar biasa. Karena aku penasaran, aku dekati dia.
“Ehm, permisi. Bagaimana kau
melakukannya?”. Karena daritadi sepertinya dia sengaja tidak menyadari
keberadaanku yang sangat jelas berada di sebelahnya, maka kupikir dia wanita
sombong yang suka jual mahal.
Tapi ternyata dia langsung
berhenti dan menjawab pertanyaanku.
“Apa? Bermain sepatu roda? Kau
hanya perlu membuatnya bergerak. Ini sangat mudah. Mau coba?”
Singkat kata hari itu aku
diajarinya bermain sepatu roda sambil mundur. Singkat kata pula kami menjadi
dekat. Sederhana ya? Iya. Sering sekali aku berpikir untuk mengulangi kejadian
awal mula kami bertemu, karena sepertinya tidak terlalu keren. Tapi apa daya,
waktu terus berlari dan sangat mustahil ia mau berjalan mundur seperti sepatu
roda milik Firza.
***
“Kenapa kita sering terjebak
momen konyol berdua ya Gha?hahahaha. Seperti naik sepeda ini, terlambat masuk
kelas, bolos pelajaran, ketinggalan bis. Kenapa harus selalu kau bawa aku ke
dalam keadaan sialmu?hahaha”
Pertanyaannya kala itu menambah
panasnya suhu udara di siang hari. Selama dua tahun berteman mana pernah
terpikirkan hal itu. Yang kuingat hanyalah kami sering tertawa bersama, hanya
itu. Padahal selera humornya tidak lebih bagus dari wanita kebanyakan, yaaa dia
berada di posisi rata-rata. Tapi ajaibnya, keadaan yang membuat kami bisa
tertawa pada waktu yang sama. Menanggapi pertanyaannya, aku
hanya tertawa meng-iya-kannya.
“Eh tunggu. Tidak semuanya itu
momen sial milikku. Ingat ketika kamu mentraktirku es krim di taman kota tapi
ternyata dompetmu tertinggal dan aku sengaja tidak membawa uang banyak? Itu
momen sial yang kau ciptakan! Aku jadi harus berkeliling menjual 10 es
krim!”. Sebagai anak muda yang sehat akal, seharusnya dia ingat itu.
“Ahahaha iya iya aku ingat!
Hehehe tidak apa-apa, semakin sering kita terjebak momen konyol seperti itu
malah lucu, kita menjadi awet muda!”
Bagiku keakraban ini
menyenangkan. Aku tidak harus menyembunyikan apa-apa dari dia. Seperti sepasang kekasih pada umumnya yang selalu bersikap baik. Sementara aku tidak harus melakukannya, begitu
juga dengan Firza. Kami sudah saling kenal cukup lama. Aku tau banyak
kejelekannya, ah sial, dia juga tahu kejelekanku. Di depan orang kami bisa saja
saling ejek, tapi selalu berujung tawa bersama. Malah terkadang orang heran
melihat hanya kami yang tertawa berdua. Aku senang kondisi seperti ini.
***
“Fir, jika kamu kuberi pena mahal impianmu, apa yang akan kau lakukan?”
“Hmmm mungkin pena itu bakal
jarang aku pakai”
“Kenapa begitu?”
“Karena aku jarang belajar, hehehe”
Gadis ini luar biasa di mataku,
dengan daya ingat yang lebih rendah dariku, kecepatannya memahami sesuatu hal yang baru,
keteledorannya, kecanggihannya menebak mood seseorang, bahkan momen sial yang sering dia seret aku ke dalamnya. Dan
gaya tertawanya. Saat terbahak bahak, sampai matanya nyaris tertutup, sampai
berkaca kaca memegang perut yang mulai sakit dari menahan lucu. Saat orang
menatap wajahnya aneh, dengan nyaris tak ada make up sedikitpun yang menempel selain bedak dan pelembab bibir yang tentunya tidak berkilauan, di saat itulah
aku mulai menyadarinya, dia tidak cantik, betul, tidak cantik sama sekali. Dan untuk pertama
kalinya aku ingin bertanya tentang sebuah perasaan.
“Hmmm...kalau kukirim bunga
untukmu, apa yang akan kau lakukan dengan bunga itu?”
“Jika bisa ditanam ya akan kutanam, kalau hanya untuk dipajang....kau beri kepada yang lain saja!
Ahahaha”
“Kamu harus menerima
pemberian dari orang lain tau! Apapun bentuknya”
“Kecuali kamu yang memberi
hahaha, aku akan menolaknya kalau memang aku tidak suka hahaha.”
Wanita ini paling sulit aku ajak bicara serius, dia terus saja membelokannya menjadi lelucon. Jadi agak sulit bagiku bertanya tentang perasaan. Kupikir ini semua karena kondisi yang sudah begitu nyaman menjadi
teman. Lagian, perasaanku juga
tidak jelas. Apa namanya ya? Ada rasa sangat senang saat bersama dia, ada
perasaan ingin menjaganya, dari segala momen sial yang bisa dia ciptakan, aku
ciptakan, atau orang lain ciptakan yang menyeret dia ke dalamnya. Dan ingin
selalu ada saat dia terjebak momen sial, karena aku ingin merasakan kesulitan yang ia rasakan, karena kupikir kami bisa menjadi suau tim yang sangat
kompak saat bersama. Dan tidak ada rasa cemburu sama sekali ketika laki-laki lain mendekatinya, tidak ada rasa takut kehilangan, seperti ada sebuah
keyakinan yang memastikan akan ada banyak waktu yang dihabiskan untuk kami
berdua kelak. Ada
rasa itu, nyaman, yang tanpa cemburu dan takut kehilangan, karena ada sebuah
rasa tenang dan keyakinan kebersamaan.
Kenapa aku jadi melantur?
Oke, kita lanjutkan kisah ini. Perlu kalian ketahui semua itu terjadi sekitar........sebelas tahun yang lalu. Termasuk momen ter-sial yang pernah kualami.
Suatu hari kami pergi ke sebuah karnaval. Dia menantangku menaiki salah satu wahana tercepat di sana. Sebagai pria sejati yang tidak takut apapun, aku menerima tantangan itu. Ternyata, dompet Firza jatuh, dan sangat kebetulan dia tidak menyadari itu. Jadi kuambil dompet itu....lalu kubuka....daaaan. Ada foto dia bersama seorang laki-laki. Aku tahu itu bukan adiknya, kakaknya, apalagi ayahnya. Di belakangnya tertulis '12 September 2000 - selamanya'.
"Oh....". Sudah. Hanya itu reaksiku. Malam itu juga aku kembalikan dompet itu. Jadi, menurutku itu momen ter-sial. Ketika aku menemukan dompetnya, tanpa izin membukanya, dan menemukan foto tersebut. Andai aku tidak membukanya, aku masih bisa berangan-angan suatu saat bisa hidup bersamanya. Sialnya, aku bukan termasuk laki-laki yang berharap hubungannya dengan laki-laki di foto itu berakhir kemudian dia berpihak padaku. Lebih sial lagi, perasaanku tidak pernah tersampaikan. Sungguh sial, saat ini Friza berhasil menikah dengan pria di foto tersebut.
Nyatanya, momen sial itu tidak pernah ada. Apa namanya 'sial' jika aku merasa senang disaat itu? Apa namanya 'sial' jika pada akhirnya membukakan mataku pada sebuah kebenaran? Apa namanya 'sial' jika itu mengajarkanku pada sebuah hal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar