Seluruh istana tertutup warna
abu-abu, beberapa bagian masih berasap dengan nyala apa kecil. 200 meter dari
gerbang utama berserakan pedang, anak panah, dan mayat-mayat prajurit. Kekalahan
fajar tadi jelas masih sangat terasa, dari bau anyir darah, kelompok burung
pemakan bangkai, dan keheningan di seluruh kerajaan. Sebagian prajurit yang tersisa
kelelahan dan memilih bersandar pada apapun yang bisa dijadikan sandaran. Parit
pertahanan istana menjadi keruh, airnya nyaris terkuras habis. Para wanita
hilir mudik membawa ember berisi air hangat, handuk basah, sepotong roti atau
apapun makanan yang tersisa, dan air minum sambil mendekati satu persatu
prajurit yang selamat. Sementara pria lainnya mengumpulkan jasad prajurit yang
gugur dalam serangan mendadak subuh tadi. Lawan kerajaan tidak hanya menang
telak, kesempatan memakai baju zirah pun tidak diberikan untuk istana yang
kalah.
Bagi raja pertempuran tadi sangat
diluar dugaan. Perhitungan harinya meleset, kepercayaannya pada penasihat mulai
kikis. Raja selamat bukan berarti tanpa luka. Lengannya tidak luput dari pedang
musuh, mata kanannya memar akibat terjatuh dari kuda. Jauh dari itu, tidak ada
yang mengetahui pengaruh pasca perang untuk seorang raja.
“Siapa dia?”
Raja melihat kedatangan wanita
bermahkota dari arah timur, sama persis dari arah kedatangan musuh mereka.
Dia datang sendirian tanpa bala bantuan atau pengawal di kanan kirinya, tanpa
senjata, bahkan zirah.
“Siapa dia??”
Dari pakaian dan mahkotanya
menunjukkan dengan jelas dia bukan sembarang wanita. Raja memperhatikan wanita yang terus berjalan mendekati gerbang istana. Tanpa sadar
pikiran yang semula berkutat pada strategi, perhitungan dan rencana, kini
beralih pada wanita misterius tersebut.
“Mau apa dia? Mengapa tidak ada
yang menghalanginya? Bagaimana dia bisa masuk sampai ke wilayahku?”
Wanita berambut panjang ini terus
berjalan hampir mendekati gerbang kerajaan. 200 meter di depan gerbang utama.
Titik pecahnya serangan membabi buta dari lawan. Melewati parit yang surut
sambil berjalan tegap, wanita itu justru seakan tidak mengenal kerajaan yang
sedang ia datangi. Beberapa kali dia melihat ke sekitarnya dengan tatapan
bingung. Seolah tersesat.
“Ma....maaf", katanya.
Tangannya tidak sengaja
menjatuhkan tumpukan pakaian rapi yang dibawa oleh seorang daying.
“HEI!!. Perhatikan langkahmu!”
“Maaf, saya tidak sengaja..”. Wanita paruh baya yang baru saja menjadi daying ini segera mengambil
tumpukan pakaian yang semula dibawanya bersih, menjadi kotor jatuh di pinggir
parit. Sementara pemuda yang menegurnya berlalu dan terus berjalan memeriksa
keadaan prajurit lain.
Dari jendela ruang pertemuan,
Sang Raja dibuat aneh oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya.
“Mengapa prajuritku membela wanita
misterius itu? Dia yang menjatuhkan pakaian pakaian itu!”
Beberapa daying terlihat sedang
memilih pakaian kotor yang dikenakan prajurit untuk dibersihkan. Sementara perempuan
bermahkota meneruskan langkahnya menuju gerbang istana sambil tetap memperhatikan
sekelilingnya. Tanpa sengaja dia menginjak salah satu pakaian prajurit yang
sedang duduk lelah dengan pedang masih ditangannya.
“Ma...maaff. maafkan aku, aku
tidak sengaja”
“HEIII!! Cepat ambil pakaian
kotor ini. Lama sekali kau!”, kata prajurit sambil berteriak ke arah salah satu
wanita yang bertugas membersihkan pakaian.
Putri kerajaan yang misterius ini
bingung. Apa di semua kerjaan tidak ada yang berani menyalahkan putri? Apa
gelar anak raja sangat diagungkan sampai tidak ada yang berani menegurnya? Jika
tidak ada yang berani menyalahkannya, kenapa tidak ada pula yang menyapanya?
Tanpa pikir panjang Raja memutar
balik badannya yang semula menghadap ke luar istana, mengharuskannya mendekati
gerbang.
“Siapa dia? Mau apa dia kemari?
Siapa yang menyuruhnya? Mengapa ia datang seorang diri? Mengapa hanya aku yang
memperhatikannya??”
Belum pulih benar dari kekalahan
semalam, raja dihadapkan pada kehadiran wanita asing pasca perang. Dalam
sejarah memang tidak ada yang mampu memastikan kejadian apa yang akan terjadi
sesaat, atau sekian tahun setelah dua istana bertempur, terlebih untuk pihak
yang kalah. Pasca perang membuat raja begitu berhati-hati terhadap sesuatu yang
asing muncul di kerajaannya.
“Hey! Nona. Siapa dirimu??”. Raja
akhirnya angkat bicara.
“Maaf raja... saya memang baru
bekerja satu minggu di istana.” Kata seorang wanita yang sedang berjalan
melewati hadapan raja sambil membawa roti dan air untuk prajurit.
“Maaf nona, bukan kamu yang
kutanyakan. Tapi dia, wanita bermahkota itu”
Prajurit, pelayan, dan
orang-orang di sekitar gerbang istana menoleh ke arah raja.
“Raja, apa kau sadar dengan
pertanyaanmu?”
***
-end
Cerita ini terinspirasi dari catatan mimpi penulis pada Senin malam, 2 Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar