Selasa, 19 Januari 2016

Pasca Perang

Seluruh istana tertutup warna abu-abu, beberapa bagian masih berasap dengan nyala apa kecil. 200 meter dari gerbang utama berserakan pedang, anak panah, dan mayat-mayat prajurit. Kekalahan fajar tadi jelas masih sangat terasa, dari bau anyir darah, kelompok burung pemakan bangkai, dan keheningan di seluruh kerajaan. Sebagian prajurit yang tersisa kelelahan dan memilih bersandar pada apapun yang bisa dijadikan sandaran. Parit pertahanan istana menjadi keruh, airnya nyaris terkuras habis. Para wanita hilir mudik membawa ember berisi air hangat, handuk basah, sepotong roti atau apapun makanan yang tersisa, dan air minum sambil mendekati satu persatu prajurit yang selamat. Sementara pria lainnya mengumpulkan jasad prajurit yang gugur dalam serangan mendadak subuh tadi. Lawan kerajaan tidak hanya menang telak, kesempatan memakai baju zirah pun tidak diberikan untuk istana yang kalah.

Bagi raja pertempuran tadi sangat diluar dugaan. Perhitungan harinya meleset, kepercayaannya pada penasihat mulai kikis. Raja selamat bukan berarti tanpa luka. Lengannya tidak luput dari pedang musuh, mata kanannya memar akibat terjatuh dari kuda. Jauh dari itu, tidak ada yang mengetahui pengaruh pasca perang untuk seorang raja.

 “Siapa dia?”


Raja melihat kedatangan wanita bermahkota dari arah timur, sama persis dari arah kedatangan musuh mereka. Dia datang sendirian tanpa bala bantuan atau pengawal di kanan kirinya, tanpa senjata, bahkan zirah.

“Siapa dia??”

Dari pakaian dan mahkotanya menunjukkan dengan jelas dia bukan sembarang wanita. Raja memperhatikan wanita yang terus berjalan mendekati gerbang istana. Tanpa sadar pikiran yang semula berkutat pada strategi, perhitungan dan rencana, kini beralih pada wanita misterius tersebut.

“Mau apa dia? Mengapa tidak ada yang menghalanginya? Bagaimana dia bisa masuk sampai ke wilayahku?”

Wanita berambut panjang ini terus berjalan hampir mendekati gerbang kerajaan. 200 meter di depan gerbang utama. Titik pecahnya serangan membabi buta dari lawan. Melewati parit yang surut sambil berjalan tegap, wanita itu justru seakan tidak mengenal kerajaan yang sedang ia datangi. Beberapa kali dia melihat ke sekitarnya dengan tatapan bingung. Seolah tersesat.

“Ma....maaf", katanya.

Tangannya tidak sengaja menjatuhkan tumpukan pakaian rapi yang dibawa oleh seorang daying.

“HEI!!. Perhatikan langkahmu!”
“Maaf, saya tidak sengaja..”. Wanita paruh baya yang baru saja menjadi daying ini segera mengambil tumpukan pakaian yang semula dibawanya bersih, menjadi kotor jatuh di pinggir parit. Sementara pemuda yang menegurnya berlalu dan terus berjalan memeriksa keadaan prajurit lain.

Dari jendela ruang pertemuan, Sang Raja dibuat aneh oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya.

“Mengapa prajuritku membela wanita misterius itu? Dia yang menjatuhkan pakaian pakaian itu!”

Beberapa daying terlihat sedang memilih pakaian kotor yang dikenakan prajurit untuk dibersihkan. Sementara perempuan bermahkota meneruskan langkahnya menuju gerbang istana sambil tetap memperhatikan sekelilingnya. Tanpa sengaja dia menginjak salah satu pakaian prajurit yang sedang duduk lelah dengan pedang masih ditangannya.

“Ma...maaff. maafkan aku, aku tidak sengaja”
“HEIII!! Cepat ambil pakaian kotor ini. Lama sekali kau!”, kata prajurit sambil berteriak ke arah salah satu wanita yang bertugas membersihkan pakaian.

Putri kerajaan yang misterius ini bingung. Apa di semua kerjaan tidak ada yang berani menyalahkan putri? Apa gelar anak raja sangat diagungkan sampai tidak ada yang berani menegurnya? Jika tidak ada yang berani menyalahkannya, kenapa tidak ada pula yang menyapanya?

Tanpa pikir panjang Raja memutar balik badannya yang semula menghadap ke luar istana, mengharuskannya mendekati gerbang.

“Siapa dia? Mau apa dia kemari? Siapa yang menyuruhnya? Mengapa ia datang seorang diri? Mengapa hanya aku yang memperhatikannya??”

Belum pulih benar dari kekalahan semalam, raja dihadapkan pada kehadiran wanita asing pasca perang. Dalam sejarah memang tidak ada yang mampu memastikan kejadian apa yang akan terjadi sesaat, atau sekian tahun setelah dua istana bertempur, terlebih untuk pihak yang kalah. Pasca perang membuat raja begitu berhati-hati terhadap sesuatu yang asing muncul di kerajaannya.

“Hey! Nona. Siapa dirimu??”. Raja akhirnya angkat bicara.
“Maaf raja... saya memang baru bekerja satu minggu di istana.” Kata seorang wanita yang sedang berjalan melewati hadapan raja sambil membawa roti dan air untuk prajurit.

“Maaf nona, bukan kamu yang kutanyakan. Tapi dia, wanita bermahkota itu”
Prajurit, pelayan, dan orang-orang di sekitar gerbang istana menoleh ke arah raja.

“Raja, apa kau sadar dengan pertanyaanmu?”

***
Istana bertambah abu pasca perang, dengan raja yang membiarkan putrinya bermahkota muncul dalam sosok dewasa sampai tidak ia kenali. Putri kerajaan yang paling dikenal. Seorang putri yang kematiannya tidak pernah bisa diterima oleh ayahnya sendiri.

-end

Cerita ini terinspirasi dari catatan mimpi penulis pada Senin malam, 2 Juni 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar