Sabtu, 04 Februari 2012

Bukik Bertanya: Warna-warni di Balik Layar

Halo. Nama lengkap saya Ulfi Wening Nidyastuti. Saat ini status saya sebagai mahasiswi semester dua, pencari pengalaman, dan motivator pribadi. Ada kisah unik sebelum akta saya dilaminating dan disahkan, tercetus nama Ulfi Wening Nidhy Astuti dari benak orangtua saya. Tentu saja ibu membagikan ide nama itu kepada Pak Kayim, namun entah mengapa yang ditulis adalah Ulfi Wening Nindyastuti. Ibu langsung memberitahu bapak-penulis-akta kalau itu salah. Setelah ditipe-ex, nama saya diganti menjadi Ulfi Wening Nidyastuti, lantas mungkin karena sudah kesal atau merasa tidak tega nanti akta saya menjadi berlumeran tipe-ex, kedua orangtua saya setuju-setuju saja nama saya menjadi Nidyastuti, sampai saat ini pun penulisan nama ketiga dari nama lengkap saya masih sering tidak benar. Nidyastuti ini pernah berganti menjadi Nidyatuti di Kartu Keluarga saya yang parahnya saat itu baru saya sadari ketika mau membuat KTP. Alhasil, repotlah prosedur pembuatan KTP karena harus diulang dari awal pembuatan KK lagi. Pernah juga menjadi Nindyastuti yang ajaibnya itu terpampang di ijazah SMP, luar biasanya adalah guru saya yang menulisnya bahkan tidak sadar kalau nama itu salah. Dan yang paling nyeleneh adalah ketika berganti menjadi Hidyatuti. Subhanallah sekali.

Sedikit orang yang tahu bahwa nama Ulfi itu merupakan hasil kekreatifan ibu saya yang berhasil menggabungkan kata Idul dan Fitri. Bisa diawang-awang kan? Sejak saya memiliki nama lengkap yang sudah terukir dalam akta, sejak saat itu lah nama panggilan saya Ulfi. Orangtua saya tidak pernah mengajarkan atau memberi panggilan alternatif atau menyuruh orang lain untuk se-kreatif mungkin memilih nama panggilan untuk saya selain Ulfi. Namun, orangtua hanya berencana, orang lain yang memberikan. Guru Bahasa Inggris SMP saya tiba-tiba mengganti nama panggilan saya menjadi Ulil. Ketika saya tanya kenapa? Pak guru hanya berkata, “di Al Qur’an artinya bagus, pemimpin”. Dan senyum saya pun mengembang tanpa perlu dibubuhi soda kue. Ada juga yang memanggil Ufi, Ufil, dan yang paling ekstrem adalah Upil. Allahuakbar. Senyum saya berubah kecut. Di masa kuliah ini, saya mendapatkan panggilan yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Lufi. Ketika saya tanya kenapa? Teman saya hanya berkata, “Lufi Lufi...berguling! Lufi Lufi... berikan tangan! Lufi Lufi... duduk!”. Senyum saya tergantikan oleh ledakan tawa teman-teman yang lain.

Mari, saya akan mengajak anda untuk menikmati sedikit cerita hidup saya. Sebelum saya bisa mengingat dengan baik, bersama ibu dan bapak, kami tinggal di pedalaman Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun adalah kota terdekat dari pemukiman kami. Saat itu bapak bekerja di perkebunan karet yang benar-benar baru membuka lahan. Beruntung sekali setiap pekerja dipinjamkan rumah gratis dari perusahaan. Bentuknya bagaimana coba tebak? Dindingnya terbuat dari papan dan beratap seng, tanpa plafon sehingga rangka atap terlihat dengan jelas. Tidak perlu memasang AC bahkan kipas angin, sebab sudah tersedia lubang dinding di atas pintu yang biasanya untuk ventilasi tapi ini dibiarkan berlubang. Ventilasi super. Saat malam menjelang, kami tidak perlu takut dengan kedatangan hewan hutan seperti ular atau tikus, sebab tepat di atap rumah bertengger burung hantu liar yang kejelian matanya tak usah diragukan lagi. Namun kami tetap harus waspada terhadap serangga malam yang biasanya mampir ke satu-satunya sumber penerangan saat itu, teplok. Diawali dengan hidup di pemukiman jauh dari kota dan dekat dengan hutan, tentunya menyisakan kesan tersendiri bagi saya, dan kesan yang muncul adalah “wow keren”. Keren untuk bapak yang setiap hari membanting tulang dengan upah yang belum lebih dari cukup saat itu, sehingga kami harus puas makan daging bahkan tempe satu kali dalam sebulan. Keren untuk ibu saya yang sudah dengan sangat baik membesarkan saya di tempat yang ketika itu hanya ada air sungai, dan sesekali berkeliling mencari telur ayam atau itik di jalanan hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya. Keren untuk saya yang betah meski hanya ditemani satu anak sebaya saya. Hehe. Selalu ada alasan untuk mensyukuri keadaan, seperti apapun kondisinya.
Satu setengah tahun kemudian bapak dimutasi ke Kalimantan Selatan, saat itu saya sudah duduk di bangku SD. Di Kalimantan Selatan ini sudah tiga SD yang mencatat nama saya sebagai muridnya. Bapak berkali-kali dipindahkerjakan kesana-kemari, sampai ketika kelas enam, akhirnya saya mengajukan permohonan untuk sekolah di Jawa Tengah saja, tepatnya di Purwokerto. Keputusan saya saat itu menjadi peristiwa pertama yang berhasil mengubah kepribadian seorang Ulfi. Tekad saya bulat, tidak berubah meski hati bergetar saat pertama kali melihat bapak menangis, tidak berubah meski hati, ehm, bergetar lagi ketika suatu malam menyaksikan ibu memohon sambil menangis dan memeluk saya untuk tetap tinggal bersama di Hayup, desa yang sudah menjadi tempat tinggal kami selama empat tahun lamanya, sebuah nama desa yang tidak bisa ditemukan di atlas. Pengalaman pertama mengenyam pendidikan di pulau Jawa tidak berjalan mulus bagi saya. Di awal SMP saya harus terseok-seok menyetarakan ilmu saya dengan kondisi pendidikan di sana. Apalah itu Bahasa Jawa, Bahasa Inggris, dan Pramuka saya tidak paham! Saat itu saya merasa menjadi orang bodoh diantara orang-orang pintar, dan kondisi itu lah yang memaksakan saya mau tidak mau, bisa tidak bisa, ya harus giat belajar. Dan sejak pemindahan domisili itu lah saya mulai belajar hidup mandiri.
Mengikuti organisai Pecinta Alam di SMA juga telah mengubah karakter dan cara pandang saya tentang kehidupan. Saya belajar banyak dari hasil pembicaraan dengan senior yang kebanyakan adalah mereka yang berani, santai, cekatan, kritis, dan peka. Sedikit pujian untuk para tetua saya hehe. Berkegiatan di alam pun secara tidak langsung, sedikit dan perlahan membentuk pribadi saya menjadi tidak mudah panik dan tetap positive thinking dalam kondisi apapun. Ikut serta dalam kepanitiaan kegiatan alam bebas menjadi pengalaman spesial bagi saya, bukan hanya sekedar memikirkan bentuk acara, namun juga bertanggung jawab atas keamanan tiap pesertanya. Jangan suka berpikir rumit dan jangan biasakan berpikir santai.
Keputusan memakai jilbab jelas mengubah pribadi saya. Saya lebih ketat membatasi diri dari setiap tingkah laku. Apakah ini baik? Apakah ini pantas? Apakah ini bermanfaat? Apakah berpahala? Tidakkah berdosa? Itu yang sering muncul dalam benak saya setiap hendak bertindak. Berjilbab menjadi langkah nyata saya untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Menurut saya berjilbab bukan masalah siap atau tidak siap, tapi berani atau tidak berani.J
Peristiwa paling mengagetkan dan jelas mengubah diri saya adalah ketika Allah memberi ujian kepada kedua orangtua saya. Timbul konflik di antara mereka ketika saya menjelang UN. Keadaan itu diperheboh dengan tertolaknya saya di SNMPTN.    Saat itu ada dua pilihan di hadapan saya. Masa bodoh dengan konflik keluarga dan putus asa dengan kelanjutan sekolah saya. Atau melanjutkan usaha mendapatkan universitas dan bantu meredakan konflik. Dan keputusan saya adalah berhenti. Berhenti mengeluh terhadap keadaan yang tidak mengenakan saat itu. Nah dari situ lah saya belajar menjaga rahasia, belajar apa itu ikhlas menghadapi ujian, belajar pentingnya memaafkan, belajar arti sabar, dan tentunya belajar untuk tidak terganggu dengan godaan yang bisa memicu stress.
Kita beralih ke cerita lain. Ini tentang menghargai. Saya menghargai diri sendiri, untuk setiap keberanian dan tindakan salah dan benar yang pernah saya lakukan. Menghargai keluarga, sebagai sumber kebahagiaan tanpa batas selama hidup di dunia, menjadi alasan terkuat mengapa saya harus belajar dan bekerja, dan sebagai target utama berbagi kesenangan hati. Saya menghargai orang lain, atas campur tangannya membentuk pribadi saya yang lebih baik, untuk kehadiran yang berbuah cerita, dan sebagai pendamping mencari pengalaman. Indonesia. Saya menghargai negeri ini atas pemberian izin tempat saya dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan dihidupi dengan sumber daya alamnya. Yang terakhir, saya menghargai kehidupan,untuk setiap kesan dan pelajaran yang tercipta dari semua peristiwa. Menikmati kehidupan menurut saya sama halnya seperti menaiki roller coaster. Ada kalanya kita bosan dengan jalan datar, bersemangat di jalan menanjak, dan berteriak ketakutan ketika turun. Seperti itu.
Membayangkan sesuatu yang dijadikan simbol untuk diri saya. Sebentar coba saya pikirkan. ...... . Pensil kayu yang dilengkapi penghapus di ujungnya. Pensil digunakan untuk menulis, saya bisa bercerita melalui tulisan saya. Pensil itu dilengkapi penghapus yang ukurannya lebih kecil, saya ditugaskan untuk seminimal mungkin melakukan kesalahan dan mampu memperbaikinya. Terkadang saya harus menghadapi sakitnya ujian dan cobaan, sama seperti pensil ketika harus diraut. Sebatang pensil yang terus berkarya, menghadirkan manfaat, berusaha sedikit mungkin melakukan kesalahan, dan bertahan di tiap sakitnya goresan rautan. Hore.
Delapan belas tahun kedepan, di Indonesia tidak lagi terdengar ancaman rakyat minta keadilan dan kesejahteraan, serta protes-protes lain yang menyudutkan pihak tertentu. Yang paling membahagiakan adalah melihat kota yang bersih dari perumahan kumuh, dan desa yang bebas dari kemiskinan. Tak ada lagi hukum Markovnikov, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Setiap orang akan terbentengi agamanya masing-masing yang semua percaya pada kebaikan berperilaku. Maka yang bisa saya lakukan adalah melakukan tindakan halal yang tidak hanya menguntungkan diri sendiri. Minimal dimulai dari serius melakoni pekerjaan saya kelak.
Jika suatu ketika ada yang berbaik hati ingin membuat biografi tentang saya, judul yang akan saya pilih adalah“Warna-Warni di Balik Layar”
Apa sebutan untuk orang yang melakukan kesalahan konyol dua kali?Absen saya ketika kelas 9 SMP adalah 43. Suatu hari di kelas 10 SMA, seorang guru bertanya kepada saya, “Iya mba, absen kamu berapa?”, saya jawab, “43 bu”. Seisi kelas tertawa sebab jumlah murid di kelas itu hanya ada 42, dan absen saya adalah 39. Naik ke kelas 11 SMA, guru Biologi saya bertanya, “Ulfi, kamu absen berapa?”, saya jawab, “39 pak”. Saya mendapat tawaan yang sama sebab saat itu jumlah murid hanya 38, dan absen saya seharusnya 36.


Tulisan ini bagian dari  Rubrik Kolaborasi Bukik Bertanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar