Halo. Nama lengkap saya Ulfi Wening Nidyastuti. Saat ini status saya sebagai
mahasiswi semester dua, pencari pengalaman, dan motivator pribadi. Ada kisah
unik sebelum akta saya dilaminating dan disahkan, tercetus nama Ulfi Wening Nidhy Astuti dari benak
orangtua saya. Tentu saja ibu membagikan ide nama itu kepada Pak Kayim, namun
entah mengapa yang ditulis adalah Ulfi
Wening Nindyastuti. Ibu langsung memberitahu bapak-penulis-akta kalau itu
salah. Setelah ditipe-ex, nama saya diganti menjadi Ulfi Wening Nidyastuti, lantas mungkin karena sudah kesal atau
merasa tidak tega nanti akta saya menjadi berlumeran tipe-ex, kedua orangtua
saya setuju-setuju saja nama saya menjadi Nidyastuti,
sampai saat ini pun penulisan nama ketiga dari nama lengkap saya masih sering
tidak benar. Nidyastuti ini pernah berganti menjadi Nidyatuti di Kartu Keluarga
saya yang parahnya saat itu baru saya sadari ketika mau membuat KTP. Alhasil,
repotlah prosedur pembuatan KTP karena harus diulang dari awal pembuatan KK
lagi. Pernah juga menjadi Nindyastuti yang ajaibnya itu terpampang di ijazah
SMP, luar biasanya adalah guru saya yang menulisnya bahkan tidak sadar kalau
nama itu salah. Dan yang paling nyeleneh adalah
ketika berganti menjadi Hidyatuti. Subhanallah sekali.
Sedikit orang yang tahu bahwa nama Ulfi itu merupakan hasil kekreatifan ibu
saya yang berhasil menggabungkan kata Idul dan Fitri. Bisa diawang-awang kan? Sejak saya memiliki
nama lengkap yang sudah terukir dalam akta, sejak saat itu lah nama panggilan
saya Ulfi. Orangtua saya tidak pernah mengajarkan atau memberi panggilan
alternatif atau menyuruh orang lain untuk se-kreatif mungkin memilih nama
panggilan untuk saya selain Ulfi. Namun, orangtua hanya berencana, orang lain
yang memberikan. Guru Bahasa Inggris SMP saya tiba-tiba mengganti nama panggilan
saya menjadi Ulil. Ketika saya tanya kenapa? Pak guru hanya berkata, “di Al
Qur’an artinya bagus, pemimpin”. Dan senyum saya pun mengembang tanpa perlu dibubuhi
soda kue. Ada juga yang memanggil Ufi, Ufil, dan yang paling ekstrem adalah Upil.
Allahuakbar. Senyum saya berubah kecut. Di masa kuliah ini, saya mendapatkan
panggilan yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Lufi. Ketika saya tanya
kenapa? Teman saya hanya berkata, “Lufi Lufi...berguling! Lufi Lufi... berikan
tangan! Lufi Lufi... duduk!”. Senyum saya tergantikan oleh ledakan tawa
teman-teman yang lain.
Mari, saya akan mengajak anda untuk menikmati sedikit cerita hidup saya. Sebelum
saya bisa mengingat dengan baik, bersama ibu dan bapak, kami tinggal di
pedalaman Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun adalah kota terdekat dari pemukiman
kami. Saat itu bapak bekerja di perkebunan karet yang benar-benar baru membuka
lahan. Beruntung sekali setiap pekerja dipinjamkan rumah gratis dari
perusahaan. Bentuknya bagaimana coba tebak? Dindingnya terbuat dari papan dan
beratap seng, tanpa plafon sehingga rangka atap terlihat dengan jelas. Tidak
perlu memasang AC bahkan kipas angin, sebab sudah tersedia lubang dinding di
atas pintu yang biasanya untuk ventilasi tapi ini dibiarkan berlubang.
Ventilasi super. Saat malam menjelang, kami tidak perlu takut dengan kedatangan
hewan hutan seperti ular atau tikus, sebab tepat di atap rumah bertengger
burung hantu liar yang kejelian matanya tak usah diragukan lagi. Namun kami
tetap harus waspada terhadap serangga malam yang biasanya mampir ke satu-satunya
sumber penerangan saat itu, teplok. Diawali dengan hidup di pemukiman jauh dari
kota dan dekat dengan hutan, tentunya menyisakan kesan tersendiri bagi saya,
dan kesan yang muncul adalah “wow keren”. Keren untuk bapak yang setiap
hari membanting tulang dengan upah yang belum lebih dari cukup saat itu,
sehingga kami harus puas makan daging bahkan tempe satu kali dalam sebulan. Keren untuk ibu
saya yang sudah dengan sangat baik membesarkan saya di tempat yang ketika itu
hanya ada air sungai, dan sesekali berkeliling mencari telur ayam atau itik di
jalanan hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya. Keren untuk saya yang
betah meski hanya ditemani satu anak sebaya saya. Hehe. Selalu ada alasan untuk
mensyukuri keadaan, seperti apapun kondisinya.
Satu setengah tahun kemudian bapak dimutasi ke Kalimantan Selatan, saat itu
saya sudah duduk di bangku SD. Di Kalimantan Selatan ini sudah tiga SD yang
mencatat nama saya sebagai muridnya. Bapak berkali-kali dipindahkerjakan kesana-kemari,
sampai ketika kelas enam, akhirnya saya mengajukan permohonan untuk sekolah di
Jawa Tengah saja, tepatnya di Purwokerto. Keputusan saya saat itu menjadi
peristiwa pertama yang berhasil mengubah kepribadian seorang Ulfi. Tekad saya
bulat, tidak berubah meski hati bergetar saat pertama kali melihat bapak
menangis, tidak berubah meski hati, ehm, bergetar lagi ketika suatu malam menyaksikan ibu
memohon sambil menangis dan memeluk saya untuk tetap tinggal bersama di Hayup,
desa yang sudah menjadi tempat tinggal kami selama empat tahun lamanya, sebuah
nama desa yang tidak bisa ditemukan di atlas. Pengalaman pertama mengenyam
pendidikan di pulau Jawa tidak berjalan mulus bagi saya. Di awal SMP saya harus
terseok-seok menyetarakan ilmu saya
dengan kondisi pendidikan di sana. Apalah itu Bahasa Jawa, Bahasa Inggris, dan
Pramuka saya tidak paham! Saat itu saya merasa menjadi orang bodoh diantara
orang-orang pintar, dan kondisi itu lah yang memaksakan saya mau tidak mau,
bisa tidak bisa, ya harus giat belajar. Dan sejak pemindahan domisili itu lah
saya mulai belajar hidup mandiri.
Mengikuti organisai Pecinta Alam di SMA juga telah mengubah karakter dan
cara pandang saya tentang kehidupan. Saya belajar banyak dari hasil pembicaraan
dengan senior yang kebanyakan adalah mereka yang berani, santai, cekatan,
kritis, dan peka. Sedikit pujian untuk para tetua saya hehe. Berkegiatan di alam pun secara tidak langsung, sedikit dan
perlahan membentuk pribadi saya menjadi tidak mudah panik dan tetap positive thinking dalam kondisi apapun. Ikut
serta dalam kepanitiaan kegiatan alam bebas menjadi pengalaman spesial bagi
saya, bukan hanya sekedar memikirkan bentuk acara, namun juga bertanggung jawab
atas keamanan tiap pesertanya. Jangan suka berpikir rumit dan jangan biasakan
berpikir santai.
Keputusan memakai jilbab jelas mengubah pribadi saya. Saya lebih ketat
membatasi diri dari setiap tingkah laku. Apakah ini baik? Apakah ini pantas?
Apakah ini bermanfaat? Apakah berpahala? Tidakkah berdosa? Itu yang sering
muncul dalam benak saya setiap hendak bertindak. Berjilbab menjadi langkah nyata saya untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Menurut
saya berjilbab bukan masalah siap atau tidak siap, tapi berani atau tidak
berani.J
Peristiwa paling mengagetkan dan jelas mengubah diri saya adalah ketika Allah memberi ujian kepada kedua orangtua saya. Timbul konflik di antara mereka
ketika saya menjelang UN. Keadaan itu diperheboh dengan tertolaknya saya di
SNMPTN. Saat itu ada dua pilihan di hadapan saya. Masa bodoh dengan konflik
keluarga dan putus asa dengan kelanjutan sekolah saya. Atau melanjutkan usaha
mendapatkan universitas dan bantu meredakan konflik. Dan keputusan saya adalah berhenti. Berhenti mengeluh terhadap keadaan yang tidak mengenakan saat itu. Nah dari situ lah saya
belajar menjaga rahasia, belajar apa itu ikhlas menghadapi ujian, belajar
pentingnya memaafkan, belajar arti sabar, dan tentunya belajar untuk tidak
terganggu dengan godaan yang bisa memicu stress.
Kita beralih ke cerita lain. Ini tentang menghargai. Saya menghargai diri
sendiri, untuk setiap keberanian dan tindakan salah dan benar yang pernah saya lakukan.
Menghargai keluarga, sebagai sumber kebahagiaan tanpa batas selama hidup di
dunia, menjadi alasan terkuat mengapa saya harus belajar dan bekerja, dan
sebagai target utama berbagi kesenangan hati. Saya menghargai orang lain, atas
campur tangannya membentuk pribadi saya yang lebih baik, untuk kehadiran yang
berbuah cerita, dan sebagai pendamping mencari pengalaman. Indonesia. Saya menghargai
negeri ini atas pemberian izin tempat saya dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan
dihidupi dengan sumber daya alamnya. Yang terakhir, saya menghargai kehidupan,untuk
setiap kesan dan pelajaran yang tercipta dari semua peristiwa. Menikmati kehidupan
menurut saya sama halnya seperti menaiki roller coaster. Ada kalanya kita bosan
dengan jalan datar, bersemangat di jalan menanjak, dan berteriak ketakutan
ketika turun. Seperti itu.
Membayangkan sesuatu yang dijadikan simbol untuk diri saya. Sebentar coba
saya pikirkan. ...... . Pensil kayu yang dilengkapi penghapus di ujungnya. Pensil
digunakan untuk menulis, saya bisa bercerita melalui tulisan saya. Pensil itu
dilengkapi penghapus yang ukurannya lebih kecil, saya ditugaskan untuk seminimal
mungkin melakukan kesalahan dan mampu memperbaikinya. Terkadang saya harus
menghadapi sakitnya ujian dan cobaan, sama seperti pensil ketika harus diraut.
Sebatang pensil yang terus berkarya, menghadirkan manfaat,
berusaha sedikit mungkin melakukan kesalahan, dan bertahan di tiap sakitnya
goresan rautan. Hore.
Delapan belas tahun kedepan, di Indonesia tidak lagi terdengar ancaman
rakyat minta keadilan dan kesejahteraan, serta protes-protes lain yang
menyudutkan pihak tertentu. Yang paling membahagiakan adalah melihat kota yang
bersih dari perumahan kumuh, dan desa yang bebas dari kemiskinan. Tak ada lagi
hukum Markovnikov, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Setiap
orang akan terbentengi agamanya masing-masing yang semua percaya pada kebaikan
berperilaku. Maka yang bisa saya lakukan adalah melakukan tindakan halal yang tidak
hanya menguntungkan diri sendiri. Minimal dimulai dari serius melakoni pekerjaan
saya kelak.
Jika suatu ketika ada yang berbaik hati ingin membuat biografi tentang
saya, judul yang akan saya pilih adalah“Warna-Warni di Balik Layar”.
Apa sebutan untuk orang yang melakukan kesalahan konyol dua kali?Absen saya
ketika kelas 9 SMP adalah 43. Suatu hari di kelas 10 SMA, seorang guru bertanya
kepada saya, “Iya mba, absen kamu berapa?”, saya jawab, “43 bu”. Seisi kelas
tertawa sebab jumlah murid di kelas itu hanya ada 42, dan absen saya adalah 39.
Naik ke kelas 11 SMA, guru Biologi saya bertanya, “Ulfi, kamu absen berapa?”,
saya jawab, “39 pak”. Saya mendapat tawaan yang sama sebab saat itu jumlah
murid hanya 38, dan absen saya seharusnya 36.
Tulisan ini bagian dari Rubrik Kolaborasi Bukik Bertanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar